Site icon BERITA NANA4D : BERITA TERBARU DAN TERKINI

Love-Hate Relationship PDIP dan Gerindra, Dulu Sahabat Kini Seteru

Love-Hate Relationship PDIP dan Gerindra, Dulu Sahabat Kini Seteru

Berita Nana4D – Love-Hate Relationship PDIP dan Gerindra, Dulu Sahabat Kini Seteru

PDIP dan Gerindra mengulang histori dengan kembali menjadi rival di Pilpres 2024. Bakal menjadi ajang yang ketiga kalinya setelah bertarung sengit di Pilpres 2014 dan 2019.
Namun siapa sangka, dua partai politik besar di Indonesia ini memiliki, katakanlah, generasi langgas menyebutnya dengan love-hate relationship.

Mereka dulu adalah sahabat dekat yang berkoalisi di Pilpres 2009. Lalu sama-sama saat menjadi oposisi di luar pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tidak ada kawan dan lawan abadi di politik. Pada Pilpres 2014, PDIP dan Gerindra berpisah jalan. Mereka berseteru dengan mengusung capres-cawapres berbeda. Berlanjut hingga lima tahun berikutnya.

Baca Juga : Kepala Desa Bantu Pemenangan Capres-Cawapres Bisa Dihukum Penjara

Reputasi PDIP dan Gerindra

PDIP lebih dulu aktif di panggung politik Indonesia. Ikut Pemilu 1999 lalu meraih suara terbanyak. Kala itu PDIP sudah dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri.

Saat pemilihan presiden di MPR, Megawati kalah suara meski PDIP punya kursi paling banyak. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang didukung beberapa partai Islam lantas menjadi presiden. Megawati harus puas sebagai wakil presiden.

Pada 2001, Megawati naik tahta usai Gus Dur dilengserkan. Dia menjadi presiden perempuan pertama Indonesia. Saat itu didampingi Hamzah Haz di kursi wakil presiden.

Di Pilpres 2004, Megawati selaku petahana dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. PDIP kemudian menjadi oposisi selama lima tahun.

Jelang Pemilu 2009, Partai Gerindra dibentuk. Berawal dari perbincangan antara adik Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo bersama Fadli Zon dan sejumlah tokoh lainnya.

Prabowo kala itu masih menjabat sebagai anggota Dewan Penasihat Partai Golkar hingga resmi mengundurkan diri pada Juli 2008. Dia sempat ikut konvensi calon presiden Partai Golkar, tetapi kalah.

Melalui berbagai diskusi, Gerindra akhirnya lahir dan dipimpin Suhardi. Deklarasi partai bak dikejar waktu, sebab dilakukan pada masa pendaftaran dan masa kampanye Pemilu 2009 yakni pada 6 Februari 2008.

Prabowo bergabung. Namanya yang telah lama dikenal publik membuat Gerindra berhasil mendapat 26 kursi atau 4,64 persen kursi DPR di Pemilu 2009. Beberapa bulan kemudian, PDIP dan Gerindra membentuk poros untuk mengikuti Pilpres 2009.

Baca Juga : Pasien COVID-19 Tak Boleh Keluyuran Meski Pakai Masker! Isoman Dulu 3-5 Hari

Koalisi Mega-Pro 2009

Megawati dan Prabowo mendeklarasikan diri sebagai pasangan Mega-Pro. Nama itu mudah dikenal lantaran merupakan salah satu merek sepeda motor pabrikan Jepang yang beredar luas di Indonesia.

Mereka mengikat diri dalam Perjanjian Batu Tulis yang diteken pada 16 Mei 2009. Poin pertama perjanjian itu mencantumkan siapa yang akan jadi presiden atau wakil presiden pada Pilpres 2009.

Poin kedua dan ketiga membahas langkah-langkah yang dilakukan apabila menang pilpres. Poin keempat, mereka berikrar akan saling dukung program partai.

Poin kelima, mereka menyepakati bahwa pendanaan pemenangan Pilpres 2019 ditanggung secara bersama-sama dengan persentase masing-masing 50 persen. Poin keenam, mereka sepakat untuk melibatkan kader masing-masing partai di tim pemenangan.

Poin ketujuh, Megawati bakal mendukung Prabowo sebagai capres di Pilpres 2014. Akan tetapi, Mega-Pro kalah pada Pilpres 2009.

KPU menetapkan Paslon nomor 01 Megawati-Prabowo meraih 32.548.105 suara (26,79 persen). Paslon nomor 02 SBY-Boediono 73.874.562 suara (60,80 persen), dan paslon nomor 03 Jusuf Kalla-Wiranto 15.081.814 suara (12,41 persen).

Mega-Pro menerima kekalahan dari SBY-Boediono lalu memutuskan berada di luar kabinet pemerintahan.

Tiga tahun berselang, mereka masih bersahabat dalam agenda Pilgub DKI Jakarta 2012. PDIP dan Gerindra mengusung pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Mereka melawan petahana Fauzi Bowo yang kala itu diusung oleh tujuh partai politik. Siapa sangka, Jokowi-Ahok berhasil memikat hati mayoritas warga Ibu Kota, hingga menang dengan perolehan 53,82 persen atau sekitar 2,4 juta suara.

Pecah Kongsi di 2014

Jokowi-Ahok kala itu dianggap berhasil membangun DKI, yang berimplikasi pada kenaikan elektabilitas terhadap Jokowi di tingkat nasional. Megawati, yang tak lagi mencalonkan diri sebagai capres, lantas menunjuk Jokowi untuk maju di Pilpres 2014.

Hal itu sama saja mengabaikan perjanjian Batu Tulis yang dulu dinyatakan PDIP bakal mendukung Prabowo sebagai capres di Pilpres 2014.

Perseteruan dimulai. Gerindra tetap mengusung Prabowo Subianto sebagai capres. Didampingi Hatta Rajasa sebagai cawapres.

Pertarungan di Pilpres 2014 terjadi sangat sengit. Bahkan hingga ke masyarakat tingkat bawah. Pembelahan sangat terasa akibat perbedaan pilihan.

Bahkan saat quick count, atau sebelum KPU menetapkan hasil resmi, dua pasang calon sama-sama mengklaim menjadi pemenang.

Hingga kemudian, KPU menetapkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang memenangkan Pilpres 2014.

Jokowi-JK unggul dengan perolehan 53,15 persen suara, sementara Prabowo-Hatta tertinggal dengan perolehan 46,85 persen suara.

Terkait perolehan suara legislatif, PDIP juga masih unggul di urutan pertama dengan perolehan 109 kursi, sedangkan Gerindra melejit dari posisi delapan ke tiga dengan 73 kursi DPR.

Gerindra memilih menjadi oposisi dalam periode pertama masa kepemimpinan Jokowi-JK bersama partai Demokrat dan PKS. Apalagi Prabowo sudah sah ditunjuk menjadi Ketum Gerindra pada September 2014.

Persaingan PDIP dan Gerindra masih panas setelah Pilpres 2014. Kini di level Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.

Gerindra mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sementara PDIP mendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

Pembelahan di masyarakat masih terjadi. Pada 2016, setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diduga melakukan penistaan agama, kelompok Islam politik yang anti-Jokowi melakukan demo berjilid-jilid di sekitar Monas dan Istana Negara.

Pilgub DKI Jakarta 2017 dimenangkan oleh Gerindra dan rekan koalisinya. Anies-Sandiaga Uno memimpin DKI, sementara Ahok divonis bersalah dan masuk penjara akibat kasus penistaan agama.

Perseteruan keduanya juga terus berlanjut terutama pada Pilpres 2019. Jokowi sebagai petahana kembali maju sebagai capres dengan wakil Ma’ruf Amin, dan Prabowo juga kembali maju dengan menggandeng Sandiaga Uno. Pertandingan kali ini kembali berlangsung sengit.

Dalam perjalanannya, Pilpres 2019 juga menciptakan polarisasi. Lahir sebutan Cebong (kubu Jokowi) versus Kampret (kubu Prabowo) di tengah para simpatisan dan masyarakat.

Jokowi – Ma’ruf yang didukung oleh sembilan partai politik dinyatakan menang di 21 provinsi dengan perolehan suara 85.607.362 atau setara dengan 55,50 persen.

Sedangkan Prabowo-Sandi yang diusung empat partai politik menang di 13 provinsi dengan mendapat 68.650.239 suara atau 44,50 persen.

Tensi politik sangat panas kala itu. Kerusuhan terjadi ketika para pendukung Prabowo-Sandi tidak terima dengan hasil pemilu.

Mereka merasa KPU dan Bawaslu tidak netral. Kerusuhan lalu meletup di dekat Bawaslu hingga berhari-hari.

Bentrok antara massa dengan aparat terjadi di sejumlah titik sekitar Sarinah, Tanah Abang, dan Sabang. Tidak sampai terjadi penjarahan. Namun tercatat lebih dari 400 orang ditangkap buntut aksi kerusuhan itu.

Kubu Prabowo-Sandiaga sempat mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK tetap menyatakan bahwa hasil Pilpres 2019 sah yang dimenangkan oleh Jokowi-Ma’ruf Amin.

Pilpres 2024

Pasca Pilpres 2019, Prabowo dan Gerindra mulai melunak. Prabowo bertemu dengan Jokowi hingga Megawati.

Gerindra akhirnya berhenti menjadi oposisi dan merapat ke Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf.

Gerindra dipercaya mengisi pos Menteri Pertahanan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Prabowo Subianto, meski rival Jokowi di dua pilpres sebelumnya, mau menjadi Menteri Pertahanan dengan motif persatuan nasional.

Sejak itu, Gerindra dan PDIP kembali menjadi kawan. Mereka sama-sama berada dalam koalisi pemerintah.

Hubungan yang sudah mencair itu diprediksi kembali memanas dalam Pilpres 2024. Gerindra bakal bersaing kembali dengan PDIP.

Saat ini, PDIP mengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan diusung oleh parpol lain, yakni PPP, Hanura, dan Perindo. Sementara Prabowo berada di Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka maju didukung koalisi Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, PSI, Garuda, hingga Gelora.

Namun kali ini mereka tidak head to head, lantaran ada tiga pasangan calon. Satu lainnya adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang didukung oleh NasDem, PKB, PKS, dan Partai Ummat.

Ketiga pasangan calon itu telah mendaftar di KPU dan telah menjalani pemeriksaan kesehatan di RSPAD. Kini, mereka tinggal menunggu KPU menetapkan pasangan calon resmi di Pilpres 2024 yang dijadwalkan pada 13 November mendatang melalui rapat pleno.

Sinyal perseteruan antara PDIP dan Gerindra juga semakin terlihat belakangan usai Gibran yang merupakan putra bungsu Presiden Jokowi maju sebagai wakil Prabowo. Gibran akhirnya dipastikan bukan lagi menjadi kader PDIP.

Ditambah baru-baru ini, menantu Jokowi, Bobby Nasution yang merupakan kader PDIP juga menyatakan dukungannya kepada Prabowo-Gibran.

Exit mobile version