beritanana4d.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik dari sebelumnya 11 persen, menjadi 12 persen, harus dilaksanakan per 1 Januari 2025. Menurut Sri Mulyani, penerapan PPN 12 persen tak bisa ditunda-tunda karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ia bilang, dari sisi keuangan negara, PPN 12 persen juga sudah waktunya untuk direalisasikan. Pemerintah perlu menambah pos-pos penerimaan agar APBN bisa tetap sehat. “Tapi (penerapannya) dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa. Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” ucap Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, dikutip pada Jumat (15/11/2024). Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu megungkapkan, pemberlakuan PPN 12 persen tentu saja menuai pro dan kontra, salah satu kekhawatiran bisa melemahkan daya beli masyarakat.
Kendati demikian, disebutkan dalam Pasal 17 ayat (3), tarif PPN bisa bersifat fleksibel dalam kondisi tertentu, yang mana tarif PPN dapat diubah menjadi minimal 5 persen dan maksimal 15 persen. “Namun, pada saat yang lain, APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons dalam episode global financial crisis,” ujar Sri Mulyani. Ia mengingatkan, rencana kenaikan tarif PPN pada 2025 ini telah dibahas secara mendalam sebelumnya bersama Komisi XI DPR RI. Sehingga saat sudah menjadi UU, seharusnya sudah tidak ada lagi pembahasan.
Waktu kita bahas juga banyak debat mengenai itu, tapi counter cyclical tetap kita jaga,” tuturnya.
Pengusaha keberatan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey mengatakan, para pengusaha ritel tidak setuju dengan rencana kenaikan pajak PPN 12 persen. Sehingga Aprindo mengusulkan agar rencana kenaikan itu ditunda dalam satu hingga dua tahun mendatang.
“Iya dong (tidak setuju PPN naik). Ini kita baru (selesai) deflasi. Baru mau kembali lagi karena pemerintah mengangkat program-program barunya kan,” beber Roy usai menghadiri peringatan Hari Ritel Nasional 2024 di JiExpo Kemayoran, 13 November 2024. “Jadi jangan, PPN itu harus ditangguhkan. Minimal satu tahun ke depan. Atau kalau bisa dua tahun. Karena sekarang minimal daya belinya bisa kembali dulu, gitu,” ujar dia lagi. Roy menegaskan, di pemerintahan yang baru ini pengusaha ritel memiliki harapan kondisi ekonomi menjadi lebih baik. Sehingga pengurangan ekspansi yang dialami pengusaha ritel tidak berlanjut.
Roy Mandey mengatakan, produktivitas industri retail nasional biasanya mengalami puncaknya pada momen Ramadhan, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Ia menyebut saat ini kondisi deflasi di Indonesia sudah berangsur selesai sehingga mempengaruhi permintaan domestik. “Kita syukuri deflasi sudah selesai, kita sudah ada inflasi, sudah mulai kembali lagi demand domestik dan kita harapkan di Natal tahun baru, Nataru tentu ada satu hasil yang cukup baik,” kata Roy.
“Kita berharap tentunya di tahun depan ini, kita tinggal satu bulan lagi melangkah di tahun 2025 dengan tantangan yang tentunya pasti enggak akan selesai dan belum tentu selesai, tetapi di tengah tantangan biasanya ada peluang,” lanjutnya. Lebih lanjut, Roy mengungkapkan saat ini belum ada PHK yang terjadi di industri retail karena memang bukan bersifat padat karya.
Namun, ia mengakui pengusaha ritel ada yang mengurangi ekspansi karena pengaruh deflasi beberapa waktu lalu. Hanya saja menurutnya belum sampai ada ritel yang mengalami pailit. “Belum ada. Kalau yang mengurangi ekspansi iya. Karena, pelemahan domestik itu. Deflasi. Jadi menahan investasi untuk ekspansi. Tapi kolaps belum,” tutur Roy. “Jadi di sektor kami ini, kalau ada ritel yang tutup bukan berarti perusahaannya kolaps. Tapi bisa jadi karena mereka relokasi, kemudian bisa saja mereka ingin mengganti format bisnis dari hypermarket jadi supermarket. Perusahaannya sih tetap,” jelasnya.
Senada dengan Aprindo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, ia sudah mengusulkan kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawati untuk menunda kenaikan PPN 12 persen. Menurut Shinta, usulan itu disampaikan sebelum Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto resmi terbentuk. “Kami juga sudah usulkan dengan adanya kenaikan PPN 12 persen dengan kondisi yang ada saat ini, kami memberikan masukan ke pemerintah untuk menunda (kenaikan PPN 12 persen),” ujar Shinta di Kantor Kemenaker, Jakarta Selatan, pada 22 Oktober 2024. “Ini kita (usulkan) melalui pemerintah sebelum kabinet terbentuk. Melalui Kemenkeu. Kita sampaikan. Kebetulan kan Menkeu-nya sama,” tambahnya.
Barang yang dikecualikan PPN 12 persen Berdasarkan Pasal 4A UU HPP, jenis barang yang tidak dikenai PPN, yaitu barang tertentu dalam kelompok barang berikut: Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Jasa keagamaan. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.
Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. Jasa boga atau katering, meliputi semua aktivitas pelayanan penyediaan makanan dan minuman, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN). Jasa pelayanan sosial. Jasa keuangan. Jasa asuransi. Jasa pendidikan. Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri. Jasa tenaga kerja. Baca juga: Sri Mulyani Tetap Berlakukan PPN 12 Persen Mulai Januari 2025 Barang terdampak PPN 12 persen Mengutip Antara, berdasarkan UU PPN pasal 4 ayat 1, berikut ini objek yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Impor BKP Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean Ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP Ekspor JKP oleh PKP Selain itu, khusus untuk barang kena pajak (BKP), terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni sebagai berikut.
Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP Tidak Berwujud, Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Kemudian, terdapat beberapa contoh barang kena pajak (BKP). Berikut adalah objek barang yang dikenakan pajak atau PPN.
Barang Kena Pajak (BKP) berwujud Barang berwujud adalah barang yang memiliki bentuk fisik dan dapat dilihat, bergerak, tidak bergerak, atau disentuh. Contoh dari barang berwujud yang dikenakan PPN meliputi: Barang elektronik, seperti televisi, kulkas, dan smartphone. Pakaian dan barang-barang fashion. Tanah dan bangunan. Perabot rumah tangga, seperti kursi, meja, dan lemari. Makanan olahan yang diproduksi kemasan, seperti makanan ringan dalam kemasan. Kendaraan bermotor, termasuk mobil, motor, dan truk Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud Selain barang fisik, PPN juga dikenakan pada barang tidak berwujud atau yang tidak memiliki bentuk fisik. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut: Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana perusahaan, formula rahasia, atau merek dagang. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan atau perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial.