beritanana4d.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto ingin adanya perubahan sistem politik dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, dengan sistem ini bisa menghemat uang negara.
Terkait wacana itu, Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan setuju dengan Gubernur yang dipilih DPRD, namun untuk pemilihan bupati atau wali kota tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
“Paling bagus menurut saya memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Pertimbangan adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi untuk bupati/wali kota, lebih bagus untuk tetap langsung,” kata Ahmad Irawan dalam keterangannya, Minggu (15/12/2024).
Politikus Golkar ini menuturkan, ada alasan mengapa hanya gubernur yang dipilih DPRD. Berdasarkan, asas otonomi daerah tersebut tertuang dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai ketentuan konstitusional bahwa Gubernur, Bupati dan Wali Kota dipilih secara demokratis.
Dari asas otonomi daerah tersebut, Pilkada disebut merupakan wujud dari kebijakan desentralisasi politik.
“Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam desain kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” papar Irawan.
Menurut dia, prinsip dan praktik konstitusional itu dapat dimaknai bahwa Pilkada bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct democracy/indirect democracy).
“Maka dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pilkada atau tidak langsung melalui DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” terangnya.
“Karena anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota anggota-anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum (political representation) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945,” sambung Irawan.
Efisensi Anggaran
Lebih lanjut, dia menilai perpindahan pemilihan kepala daerah ke DPRD dapat mengefisiensikan anggaran pelaksanaan Pilkada. Sebab, bongkar pasang kebijakan pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama ini tidak berjalan efisien.
“Terkait dengan prinsip efisiensi, hal tersebut merupakan asas/prinsip yang kita jadikan dasar dalam merumuskan kebijakan/teknis penyelenggaraan pemilu. Efisiensi tergantung dari kebijakan politik hukum kita yang diatur dengan undang-undang,” jelas dia.
Dia menyebut, efisiensi merupakan masalah teknis semata. Hal yang yang penting dilakukan adalah agar pelaksanaan Pilkada masih dalam koridor dan prinsip konstitusionalisme.
“Menurut penalaran yang wajar, kita bisa mendapatkan kepala daerah yang lebih berkualitas dengan biaya yang efisien jika dipilih DPRD. Kita sudah coba mengefisienkan lewat pemilihan serentak, ternyata maksud kita melakukan efisiensi tidak tercapai. Implementasinya justru mahal dan rumit,” tutur Irawan.
“Sekali lagi, efisiensi ini hanya persoalan teknis. Kalau bicara prinsip dasar konstitusionalisme tadi adalah pemilihan yang demokratis. Cuma berbagai pendapat masih kita exercising sedemikian rupa,” ujarnya.
Lebih Bagus Dibahas Segera
Di sisi lain, Irawan menyebut usul Prabowo soal gubernur dipilih DPRD sejalan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Paket Politik (Pemilu, Pilkada dan Parpol) yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 DPR RI.
Paket Undang-Undang tentang Pemilu atau Omnibus Law politik ini akan membahas bab mengenai Pemilu. Selain itu, RUU tersebut juga membahas Pilkada, Partai Politik hingga hukum acara sengketa kepemiluan.
“Ini bagus kita bahas lebih awal. Pak Prabowo dan Pak Bahlil telah memulainya. Pemikiran beliau berkesesuaian. Bagaimanapun Pak Prabowo adalah Presiden yang memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Hati dan pikirannya bagus,” ungkap Irawan.
“Inti dari pernyataannya yang saya baca adalah bagaimana kita memperbaiki Pemilu kita. Makanya kita mendorong revisi UU Paket Politik lebih awal agar tidak bias. Jadi kualitas undang-undang kita bisa lebih bagus,” tambahnya.